Sepenggal lirik di atas yang dilantunkan dengan nada dangdut kental tentulah sudah tidak asing lagi di telinga kita. Walaupun dalam kenyataannya tidak semua orang mengganggap pernyataan itu adalah benar, malahan tidak sedikit yang mengganggap sebaliknya. Semua orang yang pernah mengalami sakit gigi, entah pada saat anak-anak hingga di masa dewasa pasti akan mengakui betapa besar pengaruhnya dalam aktivitas sehari-hari. Jangankan beraktivitas, ingin beristirahat juga sulit. Tidak terkecuali kita, para mahasiswa/i yang lagi menimba ilmu di Australia termasuk anggota keluarga yang ikut diboyong ke negeri seberang.
Ijinkan saya membagikan pengalaman sewaktu kuliah di University of Queensland tahun 2011 kemarin. Saat berangkat ke Brisbane, saya merasa kesehatan gigi saya tidak bermasalah. Hal ini pun sudah saya siapkan sebelumnya berhubung adanya informasi bahwa asuransi kita nantinya tidak akan melayani klaim kesehatan gigi dan mata. Berhubung saya seorang dokter, cadangan obat penghilang sakit dan antibiotika selalu saya siapkan.
Namun malang tidak diduga, karena ceroboh, saya mengalami “kecelakaan kecil” yang menyebabkan gigi seri kanan atas saya patah hingga menyisakan sebagian kecil saja yang masih melekat di gusi saya. Jujur saja, ketika melihat wajah saya di depan kaca dengan bibir atas bengkak kemerahan rasanya seperti dunia mau kiamat. Mungkin kalau hanya kuliah tatap muka biasa, saya akan memilih untuk belajar di rumah saja. Namun, ada presentasi penting dalam tiga hari ke depan yang mau tidak mau harus dilakukan.
Karena tingkat “kemaluan” yang tinggi terhadap masalah ini, alhasil saya urung mengkomunikasikannya dengan teman-teman Indo baik di grup Uqisa maupun Philia (salah satu opsi yang sebenarnya dapat menolong tapi tidak kupilih). Namun, berkat internet dan sistem pelayanan kesehatan terpadu, tidak sulit untuk menemukan pilihan dokter gigi yang ada di Brisbane. The University of Queensland pun menyediakan pelayanan dokter gigi dengan biaya cukup terjangkau. Peminatnya banyak mulai dari para mahasiswa, dosen hingga staf administrasi. Di luar itu ada banyak praktek di rumah sakit pemerintah maupun klinik swasta. Sayangnya, di hampir semua rumah sakit, pasien yang diprioritaskan adalah pasien dengan medicard (kalau di Indonesia sejenis kartu Askes). Mahasiswa internasional dengan berbekal OSHC standard dapat dilayani namun harus merogoh kocek sendiri. Jika tidak mau ribet dengan administrasi bisa ke praktek swasta mulai dari yang orientasi amal (mis : www.nobledentist.com.au) hingga praktek dokter yang berlokasi di mall atau shopping center dengan harga yang fantastis.
Biaya yang ditawarkan tentu saja tidak sedikit mengingat perlakuan untuk gigi saya bukan hal yang biasa saja, namun seketika itu juga uang menjadi nomor sekian dalam prioritas saya. Bayangkan saja untuk pembandingnya, pemeriksaan gigi biasa untuk sekali visit memerlukan biaya minimal 250 AUD. Syukurlah saya memang sudah menyiapkan tabungan untuk hal-hal yang tidak terduga. Hal terpenting adalah memperbaiki secepat mungkin.
Masalah yang timbul berikutnya adalah jadwal. Semua pelayanan harus dijadwalkan dahulu. Unfortunately, calls after calls, no luck. Di semua tempat yang saya hubungi tidak tersedia tempat kosong dalam dua hari ke depan sesuai jadwal presentasi. Sedih dan bingung mengalahkan nyerinya. Saya jadi tidak bisa konsentrasi dengan materi yang harus saya siapkan. Akhirnya saya sadar ini bukan cara menyelesaikan masalah. Saya berserah pada Tuhan kemudian mengambil keputusan untuk membuat janji dengan dokter gigi kapanpun waktu yang tersedia. Saya kemudian dapat janji pada hari yang sama dengan jadwal presentasi. Saya jadi punya harapan mungkin saya masih bisa melakukan keduanya. Ternyata kasih Tuhan itu indah, keesokan harinya saya menerima telepon dari resepsionis yang mengabarkan bahwa ada pasien yang batal dan mereka bertanya kalau saya mau bisa sempatkan diri datang siang itu juga. Of course my answer is “Yes, I would love to, thank you very much”.
Awalnya mereka menyarankan agar sisa gigi yang patah dicabut kemudian digantikan dengan gigi palsu. Kemudian saya bertanya kira-kira adakah penanganan yang “terus terang” lebih murah. Untunglah dokternya open minded dan punya hint kalau pasien yang satu ini datang dengan budget pas-pasan hahaha :D. Akhirnya kami setuju agar gigi saya hanya ditambal namun dengan penjelasan bahwa resiko tambalannya tidak akan bertahan lama karena hanya menempel pada bagian kecil saja dari gigi aslinya. Setelah 1 jam ditangani dengan baik oleh dokter dan perawatnya, saya bisa menatap cermin dan tersenyum kembali dengan percaya diri. (Namun saya juga harus siap untuk melakukan perawatan kembali sepulangnya ke tanah air). Presentasi pun berjalan dengan baik di hari berikutnya. Thank God. Mungkin teman-teman pembaca memiliki interpretasi yang berbeda-beda dari pengalaman menarik saya, namun besar harapan semoga bisa ditarik hikmahnya untuk membantu kelancaran studi teman-teman sekalian.
Prevention is always better than cure and don’t forget to be ready with umbrella even if the sun is shining. Cheers ^__^