Membaca kisah mbak Diah Naluri dengan judul ‘Can women have it all?‘ saya menjadi terispirasi untuk ikut berbagi pikiran.
Ketika mulai membaca cerita tersebut secara otomatis dalam hati saya menjawab, ‘Yes! We can!’
Selama ada kemauan dan tekad, maka kodrat wanita sebagai ibu rumah tangga yang juga memiliki cita-cita, akan bisa melakukan apa yang dibilang orang bahwa women are multi-taskers.
Saat ini saya sedang menjalani semester kedua saya studi S2 di The University of Queensland, Brisbane. Di awal semester ke-2 ini, kedua jagoan saya datang untuk ikut bersekolah di Primary School. Kebetulan suami tidak bisa ikut, sehingga praktis saya ‘temporary single mother‘.
Dengan segala kesulitan mengatur jadwal dan urusan kuliah, assignments, antar-jemput anak-anak, homeworks mereka, ditambah berbagai urusan harian rumah tangga yang tidak bisa terelakkan dan tak ada habisnya, serta masalah-masalah yang tak terduga, saya menjalani hari-hari yang padat dan super sibuk.
Sampai saat ini saya (alhamdulillah) bisa submit assignment tepat waktu (bahkan beberapa assignments selesai sebelum due date). Teknik yang saya terapkan adalah target prioritas dan tidak pernah menunda-nunda. Meski sangat berat untuk memulai, saya menetapkan (di hari Senin) ada satu assignment mulai dikerjakan, dan pada hari Jum’at setidaknya sudah selesai garis besarnya (untuk kemudian diedit). Saya mendedikasikan weekend untuk dihabiskan bersama anak-anak, karena mereka juga butuh untuk dihibur setelah menjalani aktivitas sekolah yang padat.
Dikarenakan beban studi yang sudah sangat berat, banyak teman yang berkomentar bahwa saya cukup berani membawa anak-anak tanpa didampingi bapaknya. Buat saya pribadi, anak-anak saya menjadi bagian kekuatan saya disini. Level kekhawatiran dan stress yang saya rasakan pada semester satu berkurang drastis dengan keberadaan mereka bersama saya. Saya tidak lagi menangis di malam hari atau bangun dengan mata merah dan bengkak. Secara fisik memang saya lelah, tetapi secara mental saya relax.
Meski demikian, bukan berarti saya selalu kuat menjalani hari-hari. Pada kenyataannya adalah saya hanya berusaha untuk tabah dan tidak berhenti bersyukur.
Saya teringat di awal semester dua ini, pernah suatu hari saya berjalan menuju kampus dengan perasaan sangat galau dan tertekan. Saat sedang mengasihani diri sendiri, saya melihat seorang wanita (yang saya yakini adalah student juga) sedang berjalan sambil mendorong kereta bayi dari kampus. Di pundaknya tergantung ransel yang terlihat berat serta tas tangan berisi berbagai kertas. Seketika saat itu saya langsung merasa lebih kuat. Pada kenyataannya saya tidak sendiri. Saya merasa sangat terharu karena membayangkan beban yang dijalani ibu tersebut pastilah tidak lebih ringan dari yang saya rasakan.
Saya merenungkan bahwa perjuangan dan pengorbanan wanita yang sedang bersekolah dalam menjalankan perannya dalam rumah tangga sangatlah besar. Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada suami sebagai pasangan hidup (karena tanpa pengertian serta dukungan moralnya, seorang istri tidak akan bisa belajar dengan tenang), berbagai peran ganda yang wanita lakoni sangatlah patut diacungi jempol.
Seorang istri dan ibu yang berniat atau sedang melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, bukanlah orang yang egois. Cita-citanya, idealismenya dan tuntutan hidup masa kinilah yang memintanya berada di jalan ini. Tetapi naluri ibu dan wanitanya untuk mengurus rumah tangga sebaik-baiknya saya yakini tidaklah hilang.
(Dedicated to all women all over the world who have been chosen to be this way. Keep studying, keep fighting, and keep nurturing).
(Moreno & Romero_minggu pertama berada di Brisbane)
Hallo Mbak, salam kenal! Saya Uli, dan akan menyusul kuliah di UQ awal tahun depan. Saya sedang dalam pergelutan karena ada kemungkinan untuk sekolah membawa anak tanpa suami karena kemungkinan suami ikut masih 50:50. Membaca tulisan ini menginspirasi sekaligus memotivasi saya. Mudah2an jika nanti saya harus seperti mbak, saya punya kekuatan dan semangat yang sama.
Boleh saya minta email mbak?
Terimakasih
Hi Uli,
Perasaan yang sama saya alami satu tahun yang lalu.
Awalnya agak gamang membayangkan dan menayakan pada diri sendiri “apakah akan bisa?’. Tapi perasaan tidak sanggup berjauhan dari anak2 mengalahkan rasa takut.
Pesan saya, let it flows. Jangan memaksakan segalanya berjalan sempurna seperti yang kita mau.
Kita memang harus berencana di awal hari, tetapi terkadang hal2 di luar kendalilah yang membawa kita melalui hari.
Email udah saya kirim japri yah.
See you next semester then.
Tetap semangat ya mbak… Memang terasa lebih capek tapi kepuasan batin kita karena bisa tetap dekat dengan anak2 sptnya jauh lebih berharga… Ditambah lagi dengan bertambahnya wawasan dan pengalaman anak2 yg dulu juga membuat saya tetap membawa serta anak2 walaupun tanpa suami turut serta… Untuk hal2 spt itu memang kadang2 ibu2 punya kekuatan lebih mbak… 🙂
Thanks mbak,
Betul banget semua yang mbak bilang.
Cara terbaik melalui semuanya adalah menikmati aja ya…
Dan juga saking sibuknya, hari2 jadi terasa cepat berlalu. 😉
Salam kenal mbak Lia. Kisahnya menginspirasi. Kebetulan kisah kedua dari Can women have it all adalah kisah ibu yang menempuh PhD di canberra sambil mengasuh ketiga anaknya sendiri karena suami tak bisa ikut. Sukses untuk mbak Lia. I know you can do it!
Salam kenal juga mbak Diah.
Makasih mbak, saya yang terinspirasi dari kisah mbak Diah.
Kisah lanjutan Can women have it all-nya ditunggu ya..
Pasti akan semakin menginspirasi wanita Indonesia supaya gak perlu terlalu khawatir untuk melanjutkan sekolah sambil membawa anak tanpa didampingi suami.
Li, terharu banget bacanya. Perasaan lo gak berhenti-berhenti berjuang dari jaman EAP yah, tetep semangat yah li. Karena baca tulisan lo gw juga jadi semangat nih ngerjain assignment gw. Salam yah buat Moreno dan Romero, gak sempet ketemu mereka but I know one day they must have a feeling proud of their mom 🙂
Thanks banget Zu..
Iya yah.. tapi waktu jaman EAP barengan elo berjuangnya..
Ngejer commuter line Bogor-Manggarai-Depok-Bogor.
Yang penting jangan sampai patah semangat aja yah..
Hai mbak. Saya seorang ibu dengan satu putri, Khalila namanya (20m). Saat ini saya sedang apply ADS dan sedang bersiap untuk menghadapi interview. Seneng banget baca tulisan mbak, so nspiring dan menenangkan. Seandainya lolos nanti, saya juga ingin sekali Khalila ikut, dan mungkin tanpa ayahnya. Saya sangat setuju dengan Mbak Lia (boleh dipanggil gitu kan ya? :P) kehadiran anak pasti akan menjadi problem tersendiri, tapi secara mental pasti lebih tenang. kapan2 boleh sharing trik n tips nya ya mba 🙂
Hi Ayu, makasih buat komennya..
Silahkan email saya buat sharing.. dan semoga sukses dengan interview ADS bulan depan ya..
Lia
Hi Mbak Lia
Setelah menunggu 3 tahun akhirnya Juni ini saya akan berangkat ke Brisbane. Tapi kali ini ga cuma dengan Khalila, tapi dengan suami dan adeknya Khalila. Sekompi gitu kami pergi nya. Boleh minta email pribadimu kah, agar bisa sharing denganmu.
Thanks before Mbak.
Hallo mbak lia, senang sekali bisa membaca kisah mbak…bulan depan saya interview ADS dan inshaAllah jika lolos ingin sekali bisa membawa serta kedua anak saya (3,5th dan 8th) meski tanpa pendamping…boleh minta emailnya ya mbak
hay mbak!, saya dwi, kebetulan mau ambil UQ juga juni ini..semoga ielts nya cukup #grin. saya berencana mau berangkat dengan anak laki2 saya yang juni nanti umurnya baru1 taun..boleh minta emailnya mbak? thanks for inspiring mbak.. 🙂
halo mbk Lia, saya juga rencana akan membawa putri sy yg usianya 18 bulan ke Sydney. tapi si kecil masih menyusul..wah, baca tulisannya mbk, sy jd mantap menghadapi resiko membawa anak ke sydney. Adakah teman mbk di Sydney (mahasiswi Indonesia) yang juga membawa anak? sy ingin konsultasi bbrp hal…kya day care..terima kasih
membaca tulisan ini menambah semangat saya menembus UQ.thanks.